Laporan ini dibuat berkaitan dengan keikutsertaan para hakim dalam sidang yang digelar di Nieuwe Kerk, Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 lalu.
Sebelumnya, beberapa bulan menjelang sidang, mereka telah menerima dakwaan dan catatan penuntut, dan juga serangkaian bahan sebagai latar belakang tuntutan.
Selama empat hari sidang, mereka mendengar tuntutan yang disampaikan para penuntut secara lisan, kesaksian, dan jawaban pertanyaan dari 20 saksi (diantaranya ada yang memberi kesaksian mereka dengan identitas tersembunyi dengan memakai nama samaran atau di belakang layar tertutup). Para hakim juga menerima ratusan halaman dokumen sebagai bukti. Penuntut menyampaikan kasus mereka dalam sembilan tuntutan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan:
- Pembunuhan
- Perbudakan
- Pemenjaraan
- Penyiksaan
- Kekerasan seksual
- Penganiayaan
- Penghilangan secara paksa
- Propaganda kebencian
- Keterlibatan negara-negara lain
Setelah sidang, semua bahan di atas dan bahan-bahan terkait telah ditelaah, dan menjadi dasar dari laporan ini, yang dipersiapkan dan diedit oleh Helen Jarvis dan John Gittings, dengan bantuan dari Shadi Sadr, Mireille Fanon-Mendes France dan Zak Yacoob, yang juga memberi pertimbangan hukum untuk laporan ini.
Laporan ini dimaksudkan untuk memperkuat dan memberi pembenaran yang beralasan untuk kesimpulan para hakim, yang disampaikan di sesi terakhir persidangan pada 13 November 2015.
Laporan ini dimulai dengan menilik pertanyaan menyeluruh tentang pertanggungjawaban untuk pembunuhan massal dan kejahatan lain, dan juga membahas butir-butir yang dikemukakan penuntut dan dokumen amicus curiae yang diserahkan pada Tribunal, diakhiri dengan serangkaian temuan dan rekomendasi.
Namun patut disayangkan pemerintah Republik Indonesia tidak menyambut undangan untuk mengikuti sidang, atau menyerahkan pernyataan kepada Tribunal, sama seperti absennya wakil dari pemerintah-pemerintah Amerika Serikat, Ingrris, dan Australia, yang juga diundang.
Meski demikian, para hakim tetap menyambut baik kesediaan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Perempuan untuk berbicara di persidangan.
Selain itu, perlu dicatat juga bahwa Indonesia telah mengambil beberapa langkah penting, walau tidak menyeluruh, untuk menanggapi permasalahan ini sejak Tribunal diadakan, seperti tercantum di Appendix D2.
This post is also available in: English