| Martin Aleida*
Membaca Amba adalah menceburkan diri dalam krisis asmara yang berapi-api. Yang ditulis dengan gairah kalimat dan diksi yang memukau, sehingga menjadi candu yang membuat saya terlena. Kalau bukan tertidur, malah lupa bagaimana kejinya pengejaran dan pembantaian terhadap mereka yang, dituduh tanpa bukti, terlibat dalam sebuah perebutan kekuasaan oleh militer. Peristiwa paling keji bagi bangsa ini, yang oleh penulis novel ini hanya diletakkan sebagai latar. Kalau bukan sekedar gincu dan merah jambu.
Sungguh mati, ini bukan tentang kelamnya cinta seorang anak yang ayahnya dirampas dengan todongan bedil oleh tentara dari pelukan ibunya. Juga bukan tentang istri yang harus menunggu suami yang tak ketahuan (atau pasti mati!) nasibnya di Pulau Buru, dan harus memilih antara merangkul lelaki lain secara syah, atau jalan kemaksiatan, untuk menyelamatkan sebuah keluarga yang porak poranda dengan sejumlah mulut yang harus disuapi. Novel ini tidak tentang tahanan politik yang menggantung diri setelah tahu istrinya sedang menyusul ke pulau penderitaan itu, karena khawatir ibu dari anak-anaknya itu cuma akan menjadi bulan-bulanan gairah seks liar tak tertahankan dari para pengawal bersenjata. Pun ini bukan novel tentang belasan ribu tahanan, tua maupun muda, yang dengan tangan kosong di bawah todongan (dan berondongan) senjata, dan maut yang disodorkan keganasan alam, telah menjadikan pulau pengasingan Buru yang gelap dan bengis itu menjadi wilayah berswasembada beras, yang penjajah Belanda sekalipun tak pernah membayangkannya bakal bisa.
Lamunan saya liar di antara kalimat dan alinea novel ini mencari-cari wartawan tani Aris Pranawa, yang hanya menyisakan nama bagi anak-istrinya yang dipisahkan laut biru beribu mil dari Jakarta. Amba tidak tentang bagaimana kolega saya di Harian Rakyat itu menyapa ajalnya. Juga tidak sekalimat pun menyinggung penyair, mentor saya, Amarzan Ismail Hamid, yang pulang bersama gelombang para tahanan politik yang berjumlah belasan ribu manusia tak bersalah. Kepada saya dia membawa oleh-oleh berupa cerita kesengsaraan. Lantaran dia memang tukang bual yang pandai menghibur, tentu saja dia pun membawa kisah-kisah canda yang menggelitik, yang dipungutnya dari kehidupan yang getir selama sepuluh tahun terkurung di bui paling besar dalam sejarah republik ini.
Napasku tersendat. Tak seorang pun di antara mereka yang telah direnggut sampai timpas kemerdekaannya terpatri dalam kedudukan yang terhormat dalam novel ini. Kecuali satu, yang dibalut cinta membatu: Bhisma Rashad, dokter lulusan Jerman Timur yang baginya Stalin hanya pantas untuk diludahi. [Mencerminkan pandangan politik penulisnya, segala yang dicap buruk di Jerman Timur dibikin benderang, termasuk mereka yang mempertaruhkan nyawa melompati tembok lari ke Barat. Mungkin menarik kalau disentuh tentang sesuatu yang jauh panggang dari api buat negeri ini, namun menjadi kenyataan pada bangsa dan negeri yang jauh itu, yang sejarahnya sama kelamnya dengan Indonesia. Kanselir Jerman yang sekarang, Angela Dorothea Merkel, semasa mudanya adalah anggota komsomol, di wilayah yang dulunya bernama Republik Demokrasi Jerman. Tak terbayangkan seorang Pemuda Rakyat bisa menjadi presiden di negeri Pancasilais ini. Tapi, tidak.]
Didongengkan dalam novel ini, Amba Kinanti, putri sulung dari tiga bersaudara, anak seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah, berangkat ke Yogyakarta untuk studi sastra Inggris di Universitas Gajah Mada. Dia sudah dijodohkan kedua orangtuanya dengan Salwani Munir, seorang yang sejak awal bercita-cita menjadi guru. Semasa studi itu Amba bermain asmara dengan Bhisma Rashad, dokter lulusan Jerman Timur. Dia hamil, sementara sang kekasih yang bersimpati pada gerakan kiri, dalam sebuah penggerebekan ikut ditangkap tentara setelah meletusnya G30S, dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika anaknya sudah dewasa, Amba menerima email gelap yang menyatakan Bhisma sudah meninggal. Kabar itu membakar hati Amba, dan dia berangkat ke Buru. Melalui pencarian yang berliku dan melelahkan dia tahu kenapa dan bagaimana akhir riwayat Bhisma yang memutuskan tidak mau pulang meskipun Buru sudah dikosongkan dari budak kerja-paksa Orde Baru. Dia memperkaya dirinya dengan ilmu hitam di sana.
Bhisma yang menjadi tokoh sentral, dilukiskan sebagai anak Menteng nan ganteng. Bertubuh langsing, memikat, sampai-sampai Amba membiarkan dirinya hanyut dalam persetubuhan gelap dan menjadi pengkhianat terhadap kekasihnya. Juga terhadap kedua orangtuanya yang begitu bangga, dan berharap, suatu ketika nanti gadis manis mereka itu akan bersanding dengan Salwani Munir, seorang yang berpembawaan sederhana, yang menganggap menjadi guru sekolah menengah atas sebagai jalan kemuliaan tiada duanya.
Sebagaimana sebuah kisah cinta yang mengharu-biru dan berhasil, walau kasih yang berlumuran di situ tidak menemukan akhir yang membahagiakan, Amba adalah novel tentang asmara segi-tiga yang dituturkan dengan asyik. Bhisma ditakdirkan sebagai dokter yang baik hati, namun menemukan nasib buruk yang ditimpakan pergolakan politik yang berakhir dengan kekerasan senjata. Dia turut digaruk dalam sebuah operasi militer yang dilancarkan tentara terhadap kaum merah di Yogyakarta tak lama setelah Dewan Revolusi rontok di Jakarta. Lantas dia ikut dilemparkan ke dalam kerumunan manusia yang kemerdekaannya diinjak-injak, dan dikucilkan di Buru. Sesudah pulau neraka buatan rezim militeristis Orde Baru itu dikosongkan, dokter kita yang tentu saja tak mengharapkan imbalan untuk jasanya di tengah-tengah manusia yang diperlakukan lebih rendah dari paria itu, memutuskan untuk bertahan. Dia menolak dinaikkan ke kapal. Tidak ikut pulang. Bhisma memilih Buru, bukan Jawa. Di pulau yang menyengsarakannya itu dia memperkaya pengetahuan kedokterannya dengan ilmu gaib. Menjadi “resi.” Kepergiannya dilukiskan dengan mencemaskan: ada tembakan yang menembus jidat yang diramu dengan jalan kematian yang barbau magis. Cerita kelihatanya harus dirangkai begitu rupa untuk memberikan kekayaan berupa realisme magis bagi fiksi ini.
Novel ini ditutup dengan niat untuk menyatakan bahwa cinta sejati akan membara kembali kalau saja ada sepercik api yang memantik. Amba yang tertinggal di dunia bebas, dan sudah punya anak gadis semata wayang, sekonyong-konyong membara kembali gelora hatinya yang sudah hanyut oleh ribuan mil laut. Sebaris email yang diterimanya dari seseorang yang menyembunyikan identitas diri (mungkin Salwa) menyatakan Bhisma sudah meninggal.
Amba menumpang pesawat-terbang, menjejalkan dirinya yang sudah tua tapi tetap cantik di antara himpitan penumpang di dalam kapal yang bau dan sumuk, mengarungi laut tak bertepi dan tak henti dihajar ombak dan gelombang, untuk mencari tahu akhir hidup dari seseorang yang daya pukaunya selangit, hingga dia rela untuk membangkang terhadap jodoh yang telah dipersiapkan oleh kedua orangtuanya.
Kemampuan bertutur dengan bahasa yang bersih yang harus dicontoh, juga penguasaan budaya dan sastra Jawa purba yang kuat, yang dijadikan sumur metafora, serta narasi yang mengalir tak tersendat, membuat Amba, sebagai teks, seharusnya menempati posisi penting dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Lupakanlah sinyalemen tentang telah diabaikannya kejujuran dalam penulisannya, maka sudah sepantasnyalah Amba disambut sebagaimana Siti Nurbaya, Keluarga Gerilya dirayakan oleh zamannya masing-masing. Jadi, kejujuran, itulah yang digugat, itulah masalahnya!
Dalam sebuah kritik yang dimuat KOMPAS Minggu, 25 November 2012, tak lama setelah novel Laksmi Pamuntjak ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, seorang penulis yang menamakan diri Elya Utama menghamparkan sejumlah besar persamaan antara Amba dan novel Saman yang dirangkai atas nama Ayu Utami, terbit pertama kali pada 1998. “Contoh dari kesamaan dua novel itu banyak dan bisa diuraikan dengan panjang lebar,” kata Elya, nama yang baru kali ini saya temukan setelah jatuh-bangun begitu lamanya di dalam dunia tulis-menulis.
Kedua novel “yang luar biasa ini memiliki kemiripan atau bahkan kesamaan dalam hampir semua unsurnya,” katanya menegaskan. Lantas dia jembreng satu persatu, mulai dari struktur plot, penokohan, kejiwaan para tokoh (yang mencerminkan kejiwaan pengarang), sikap dan cara pandang penulis, serta struktur kalimat yang berkonsekuensi ke hal-hal teknis, seperti penggunaan metafora, kosakata, irama, tempo, dan diksi. Dan analisis yang tajam itu akhirnya sampai pada kesimpulan yang, walaupun spekulatif, namun mengarahkan telunjuk dan berseru: “ …dua karya itu sebenarnya karya arsitek yang sama, menggunakan nama yang berbeda-beda.”
[Suatu hari, dalam percakapan di meja makan Institut Kesenian Jakarta, seorang penulis fiksi ternama kepada saya mengaku tidak sudi membaca Amba setelah mencerna kritik Elya Utama itu. Sang pengarang tertanya-tanya siapa gerangan yang punya nama samaran itu, yang telah membongkar upaya manipulatif dalam penulisan novel, dengan satu tujuan: untuk menempatkan komunitas tertentu supaya berada di puncak. Ketenaran yang berarti rupa-rupa, termasuk nama, mungkin juga dana.]
Lagipula, Amba (juga Saman) terasa dan terkatakan tidak ditulis dengan gaya yang padu. Bagian awal dibuka dengan renungan kental, dengan metafora yang diungkapkan dengan kekuatan serta daya desak yang subtil, mengingatkan saya pada catatan pinggir yang secara rutin mengisi majalah berita mingguan TEMPO. Dan, menjadi catatan, bagaimanapun kuatnya gagasan tentang demokrasi pada diri si penulis, terasa bahwa dia juga seorang yang diskriminatif dalam hal berbahasa. Sama dan sebangun dengan dia, Amba pun mengharamkan kata “berbagai” yang musikal itu dan hanya bergairah menuliskan “pelbagai” dalam setiap kesempatan di mana kosakata itu pas untuk tampil dalam seluruh, ya seluruh, halaman Amba. Pilihannya mirip dengan aktivis perempuan radikal yang tidak sudi melihat “wanita” sebagai kekayaan yang menyempurnakan perbendaharaan kosakata “perempuan.”
Bagian pembukaan yang sarat membenamkan perasaan, kemudian (sebagaimana juga dalam Saman) dilanjutkan dengan bagian menjelang pertengahan sampai layar diturunkan dengan narasi tanpa tedeng-aling-aling. Berbau jurnalistik. Dan pola tersebut kemudian berubah samasekali menjadi semata-mata jusnatistik dalam Larung, novel lanjutan dari Saman. Tetapi, perlu diamati, bahwa dalam Amba diskripsi serta kiat dalam menjalin, menganyam fakta secara detail lebih hidup, lebih keren, lebih hoding, kata orang di Medan. Seperti menyaksikan pinggang penari yang melenggang-lenggok, mulus, membuai.
Simaklah baik-baik, bagaimana Yogyakarta dan sekitarnya dihidangkan melalui diskripsi akan detail yang memikat, ketika kota itu menjadi muram hendak meratap setelah pasukan baret merah, si pencabut nyawa orang-orang “merah,” menyerbu masuk dan menguasai, memperkosanya dengan darah. Boleh baca dua kali bab berjudul “Bumi Tarung” (mulai dari halaman 225). Puan-puan tuan-tuan, mungkin tak percaya, tetapi, walau harus memanggul cibiran dan dituduh menista, saya yakin bagian ini dianyam oleh seorang sastrawan merangkap jurnalis “yang pernah mengalami.” Karena dia memang hidup dalam masa yang pedih, penuh penyesalan, dan kelam itu. Dan, ini bukan hamparan zaman yang telah menimang meninabobokkan Laksmi Pamuntjak sampai tumbuh dan dewasa, mengalami dan menjadi penulis perempuan yang cerdas. Amrus Natalsya dan kawan-kawannya di sanggar pelukis Lekra itu diperkenalkan dengan rinci, jitu. Amsalnya juga pas ketika Bhisma, sang dokter, tokoh kita kepada siapa Amba kepincut dan berbuat khianat, dipersamakan gantengnya dengan Amrus, walau tubuh pematung cum pelukis itu lebih pendek, barangkali.
Ketika Amba sedang menjadi buah bibir. Satu sore saya mampir, nongkrong menghadapi meja kafe di markas Salihara, di wilayah Pasar Minggu, bersama sejumlah teman, termasuk pegiat komunitas tersebut. Selintas seseorang menyinggung bagian yang katanya “bagus, mengasyikkan” dari novel itu dan, dengan suara tertahan, menyebutkan lembar-lembar itu adalah “bagian Amarzan.” Tetapi, ada yang lupa menimpali. Ketika majalah TEMPO tidak memilih Amba sebagai novel terbaik, ada orang dalam yang mutung, marah-marah. Apa mau dikata, tim seleksi terdiri dari orang luar. Kepada orang-orang yang (terlalu) dekat dengan Amarzan, redaktur majalah TEMPO itu mengungkit setengah tabir, bahwa dialah yang melakukan editing terhadap manuskrip Amba. Saya tidak terperanjat mendengar cerita itu, tetapi saya mendesak dan tidak mendapat jawaban. Kayaknya pertanyaan saya: “Editing atau rewriting …?” memperoleh pembenaran lantaran semua diam. Semua cep-kelakep.
Amarzan adalah trubadur yang memukau. Kalau bercerita punya pitunang, kata orang sekampungnya. Dia mampu membuat orang yang duduk di sekelilingnya terdiam, lalu terpingkal-pingkal, mendengarkan kisah-kisahnya, terutama joke-joke-nya. Jangan pernah menuntut kebenaran faktual dari mulutnya yang berapi itu. Bisa saja dia “berbohong” untuk membuat pendengarnya tetap mematung walau diguncang tawa. Dia lahir dibesarkan di kota kecil kami, Tanjung Balai. Dulunya kota kabupaten yang kedua sisinya dikungkung dua batang sungai yang lebar, dan rawa. Sebagian besar penduduknya memiliki kebun kelapa. Atau melaut. Jadi, apa pun profesi seseorang di situ, waktu itu, maka itu bukanlah gantungan hidup atau mati. Sehingga hidup buat sebagian penduduk adalah juga taman untuk bermain, berbagi tawa. Siapa saja boleh ikut. Dan dalam bentuk apa pun. Seorang yang telah mencapai tingkat keimanan sempurna, seorang haji bisa “berdakwah” dengan kelakar.
Haji Johari, namanya. Pedagang kopiah, pekerjaannya. Suatu hari, dia rela mengorbankan sejumlah uang untuk “berdakwah.” Dia cegat seseorang yang lewat di depan tokonya. Setelah menggenggamkan sedekah berupa sejumlah uang ke tangan orang itu, dia bilang: “Nih, duitnya. Carilah lintah, bawalah sesanggup kau memikulnya. Dan tak usah kau tanya-tanya lagi. Pokoknya besok langsung kau kasikanlah lintah tu ke apotik Sehat. Sudah lama dia pesan.” Esoknya, yang empunya apotik — tentu saja konco Pak Haji — terkaget-kaget melihat beberapa kaleng lintah yang menggeliat-geliat dionggokkan di bawah batang hidungnya. “Aih, Mak..” sang korban segera sadar ini adalah permainan Haji Johari.“Dakwah” Haji Johari itu kemudian dengan cepat singgah di kedai-kedai kopi, di beranda-beranda rumah, menjadi bahan cekikikan ditemani secangkir kopi di seluruh pojok kota. Dan tak pernah ada dakwah yang begitu sering diulang-ulangi seperti “dakwah” Haji Johari itu. Ketika dia meninggal, banyak konconya tak percaya. Jangan-jangan ini permainan. Orang-orang mengirim kurir untuk mencek kebenaran berita kemalangan itu. Seisi kota, ya yang Melayu, ya yang Tionghoa, menangis, juga tertawa, mengantarkannya ke surga.
Amarzan lahir dibesarkan dalam ”adat” macam itu. Dan yang membikin cemburu (paling tidak buat saya) adalah bahwa darah itu juga mengalir di jari-jarinya kalau menulis. Dan dia punya kapasitas untuk mempertahankan etika kalau sudah harus bercerita dalam bentuk tulisan. Menulis, dia lancar, memikat. Akurat pula. Saya masih ingat bagaimana reportasenya mengenai demonstrasi anti-Amerika besar-besaran di Jakarta awal 1960-an dikutip Iramani (nama pena komunis Njoto, ketua dewan redaksi Harian Rakyat, dalam kolom tetapnya “Catatan Seorang Publisis.”
“…berenang di laut, berdiri di sebuah busut menatap matahari terbit, kemudian menyelam dan memungut kerang yang paling ganjil.” (halaman 465). Busut! Bukit kecil. Menemukan “busut” dalam kalimat itu, saya mengendus aroma Amarzan. Saya tidak merendahkan derajat Laksmi Pamuntjak. Nggak! Cuma saya yakin, mereka yang dibesarkan dalam budaya Jawa akan asing dengan kata itu, konon pula menggunakannya. Tambahan lagi, Laksmi sendiri terlebih dulu menulis novel ini dalam Inggris, bahasa yang sangat dia kuasai. [Ketika menonton drama musikal Tan Malaka karya Goenawan Mohamad di Taman Ismail Marzuki, terdengar lantunan suara perempuan dari balik layar memberikan pengantar dalam bahasa Inggris. Saya sangka native. “Siapa?” kusenggol Fikri Jufri yang duduk di samping. “Laksmi. Kau pikir siapa?!] Dan Laksmi sudah menulis sejumlah buku dalam bahasa itu.
Tidak usil, samasekali bukannya dengki, tapi perkenankanlah saya mengatakan bahwa dua temanku: Amir Daud dan Motinggo Busye pernah diundang pihak kedutaan Amerika Serikat di Jakarta untuk dilatih menulis dalam bahasa Inggris. Amir, sang wartawan, bertahan. Motinggo, si prosais, meninggalkan kelas di hari kedua. Karena dia merasa membiasakan diri menulis dalam struktur Inggris akan merusak kemampuan membangun kalimat dalam Bahasa Indonesia. Laksmi Pamuntjak boleh jadi memang penulis yang berada di puncak. Tetapi, terus terang, terbaui ada, terkatakan juga bisa. Tinggal saja saya ingin berseru: keluarlah kalian dari persembunyian! Sebab, bagaimanapun, ke pangkuan duli kesusastraan Indonesia telah kalian persembahkan sesuatu yang pantas disambut puja dan puji sebagai tepung tawar. Sebuah novel yang “menakjubkan” sebagaimana kata Elya Utama dari dalam persembunyiannya.
Sepulangnya dari riset di Buru, senyum-simpul kepada saya Amarzan menunjukkan dua lembah foto berwarna. “Kau tengok dulu,” katanya menawarkan. Yang satu, Laksmi Pamuntjak yang rupawan duduk berdekatan, seperahu dengan Amarzan, satu lagi di perahu yang sama dengan Goenawan. Bergantian mereka mengabadikan diri di samping perempuan bermata kejora itu. Riset bersama dan menulis gotong-royong saling membantu apa dosanya? Tidak sama, tetapi bukankah TEMPO di bawah kendali dan ilham Goenawan secara berhasil telah menunjukkan jurnalisme kolektif yang diadaptasinya dari jurnslisme Barat yang kapitalis, dan menjadi pelopor dan panutan dalam apa yang dinamakan jurnalisme sastrawi. Berbahasa bagus, memberitakan secara menyeluruh.
Sastra adalah soal kejujuran dan musti didekati dengan kejujuran kalau jejaknya tidak mau berlumpur. Apakah sastra Indonesia mutakhir menjadi cacat apabila dengan tulus mengikuti jejak Nur St. Iskandar di tahun 1926? Ya, hampir seabad yang silam. Sebagai redaktur Balai Pustaka pada waktu itu, Nur St Iskandar menerima naskah dari Abd. Ager. Dalam konstruksi khayali saya, Nur gatal tangannya setelah membaca manuskrip itu, dan menganggap bahan yang masuk itu akan layak terbit jikalau dia menuliskannya kembali. Rewrite. Maka terbitlah novel dengan dua nama penulis: Nur St Iskandar Abd. Ager berjudul “Cinta Yang Membawa Maut.” Pada 1933 muncul pula novel kolektif: “Tuba Dibalas Dengan Air Susu” Nur St Iskandar Asmaradewi.
Kejujuran tak pernah digugat. Tak pernah salah. ***
Martin Aleida, penulis prosa, tinggal di Jakarta
This post is also available in: English