Dadang Christanto. "DARAH ITU MASIH SEGAR JENDRAL ", #2. Acrylic on Belgium linen, 136 cm x 183 cm. November 2014.

Dadang Christanto. “DARAH ITU MASIH SEGAR JENDRAL “, #2. Acrylic on Belgium linen, 136 cm x 183 cm. November 2014.

Martin Aleida
Sastrawan

… sebab ada yang tersisa dalam sejarah yang harus diungkap dengan tulus.
Lantaran selama ini kekuasaan ingin membenamkannya.

Karena hukum, sejatinya ditulis dengan kodrat untuk berpihak pada korban,
sehingga gaung ketidakadilan yang mereka suarakan
pada akhirnya memang tak terbungkamkan.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, yang umumnya disebut G30S, Jenderal Suharto dan rezim militernya melancarkan pengejaran dan pembantaian terhadap orang yang dituduh komunis dan golongan progresif lainnya, dalam pelarian, saya dan kawan-kawan memperhitungkan, bahwa sejarah modern ini takkan surut dalam dua generasi, dalam limapuluh tahun.

Perhitungan itu semata-mata sebuah utopia dari orang-orang yang sedang “ditumpas sampai ke akar-akarnya”. Ya, sebuah utopia! Namun, setelah runtuhnya kekuasaan militeristis Suharto karena tekanan pemuda/mahasiswa, rakyat dan masyarakat internasional, tahun 1998, utopia tadi berubah menjadi cita-cita. Bahwa jalan menuju demokrasi di mana keadilan bisa diperjuangkan, sudah terkuak buat kami para korban berikut anak-cucu kami.

Kami sudah bisa melepaskan diri dari rasa takut, dan secara terbuka berbicara mengenai cacat budaya kemanusiaan yang dilakukan rezim Suharto selama 32 tahun. Masa yang terlalu lama untuk menyembuhkan penyakit yang diakibatkannya. Keberanian kami untuk keluar dari rasa takut puluhan tahun, dan harapan kami semakin solid lagi (!) dengan akan diselenggarakannya International People’s Tribunal terhadap kejahatan kemanusiaan 1965 (IPT 1965), pada minggu terakhir November 2015 di Den Haag.

Ini memang bukan pengadilan kejahatan kemanusiaan seperti di Nuerenburg terhadap kekejaman fasisme Nazi, atau pengadilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan di Serbia atau Rwanda atau Kamboja. Keputusan IPT 1965 tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang mengikat. Tetapi, yang lebih penting daripada itu adalah, bahwa keputusan yang akan diambil para hakim yang punya reputasi dan dihormati secara internasional, tentu akan berdampak dalam dan luas.

Lagipula, saya berharap jaksa dalam pengadilan rakyat di Negeri Belanda itu akan merujuk pada laporan Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) tentang temuan-temuan kejahatan kemanusiaan yang terjadi secara meluas, dengan korban ratusan ribu sampai jutaan manusia, dengan dukungan angkaran darat Jenderal Suharto, yang membuka jalan baginya menuju singgasana kekuasaan.

IPT 1965 akan memberikan pelajaran (sejarah) sangat berharga buat generasi sekarang, dan menambah dalam keyakinan mereka yang masih setengah percaya tentang kekuasaan brutal yang mereka terima, dan menari bersamanya, selama lebih dari tiga dasawarsa. IPT 1965 akan memperkuat imajinasi mereka yang berempati dan dan berduka serta berdoa setelah menyaksikan film dokumenter “Jagal (The Act of Killing)¨ dan “Senyap (The Look of Silence) ” karya Joshua Oppenheimer. Joshua dibantu sejumlah anak muda yang terpaksa memilih anonim untuk melindungi keselamatan mereka dari dendam mereka yang tampil sebagai jagal dalam dua film fenomenal tersebut.

Film-film itu membuat air mataku menggenang hangat. Dan saya benar-benar menangis membayangkan dalam benakku, bagaimana anak-anak muda tersebut dengan gigih mencari berupaya menemukan kebenaran dalam sepenggal sejarah yang berdarah namun diabaikan negara yang seharusnya mengayomi mereka. Delapan tahun mereka mempertaruhkan nyawa untuk film tersebut, untuk kebenaran yang didurhakai puluhan tahun.

T. Mulya Lubis, ahli hukum dengan reputasi internasional, dalam kolomnya yang diterbitkan sebuah harian nasional, mengaku terhenyak menonton “Senyap” dan seakan memikul beban karena tak berbuat apa-apa terhadap saudara sebangsanya. Tumbuhnya kesadaran sejarah bermuara pada stigma rezim Suharto yang mulai mencair. Dan itu bagus bagi kami para korban yang bernasib baik, dan masih hidup untuk menyaksikan bagaimana kekejian yang ditimpakan kepada kami dijatuhi hukuman, walau belum setimpal.

Kami tahu sejarah pada akhirnya akan berpihak pada kami. Seperti kata pematung Dadang Christanto, ¨Darah masih Segar, Jenderal¨ dalam sebuah karyanya.Ya, darah korban masih segar dan terus mencari tubuhnya. Masih ratusan ribu anak, seperi Adi Rukun dalam “Senyap” yang masih mencari ayah, ibu, orang-orang yang mereka cintai. Jika mereka dikubur hidup-hidup, pada tanah mana ? Jika jasadnya dicampakkan ke arus sungai, sungai yang mana? Kalau dikuburkan secara massal, ditimbun di daratan mana? Jika ditembak dan disungkurkan ke dalam luweng, lobang jahanam mana?

Mereka yang masih mencari. Dadang Christanto sendiri masih terus mengelana di pantai utara Jawa, mencari di mana jasad ayahnya direnggut dari pelukannya ketika dia berusia empat tahun. Darah terus mencari tubuhnya yang dinista sebagai manusia, dibantai dengan tuduhan palsu terlibat gerakan persekongkolan yang menculik dan membunuh para jenderal di Jakarta.

Darah dan tubuh telah dikorbankan. Kami tak punya dendam. Kami hanya ingin berseru: kalau kalian kesatria, maka keluarlah dan akui apa yang telah kalian lakukan! Jangan bersembunyi, bermain di belakang, menyediakan truk untuk mengangkut mayat korban. Sebagaimana yang terang-terangan dan bangga diakui oleh para jagal dalam dua karya film dokumenter, Joshua Oppenheimer, ¨ Jagal/The Act of Killing¨ (2012) dan ¨Senyap/ The Look of Silence¨ (2014).

Dua film yang membangkitkan ingatan masa lalu yang sudah jauh dan gelap durjana, sekaligus menyegarkan kesadaran bahwa ada yang tersisa dalam sejarah, yang harus diungkap dengan tulus. Lantaran selama ini kekuasaan ingin membenamkannya, dan dengan begitu terhindar dari dosa dan hukuman.

Kami tidak ingin memaksa kalian untuk menyerah dan angkat tangan, karena hanya akan merendahkan harga diri kalian. Tetapi, kalau memang kesatria akuilah dosa masa silam kalian, dan itu tidak akan mengurangi martabat kalian barang sejengkal pun. Malah sejarah akan mencatat kalian sebagai pembawa lilin kecil untuk menerangi sejarah gelap yang sudah kalian nodai sendiri.

Indonesia bukan bangsa pembunuh dan sembunyi tangan. Dalam tiga dasa warsa, bangsa ini telah digiring ke dalam lobang hitam peradaban. Kaum ibu kami, dikirim ke negeri-negeri yang jauh untuk dijadikan budak, dilecehkan, diperkosa malah dibunuh, dan dilemparkan dari apartemen bergedung tinggi.

Indonesia seharusnya bukan negeri dimana para jagal dibiarkan bebas menari-nari, mabuk-mabukan menikmati kekejian yang mereka lakukan dengan uang yang mereka rampas dari sejumlah kaum minoritas.

Indonesia adalah bangsa yang pemimpinnya pernah berseru di depan sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York “To Build The World A New”. Pemimpin kami yang kata-kata dalam setiap pidatonya, bergetar dan disimak bangsa-bangsa Asia, Afrika, Amerika Latin.

Zaman yang romantis menggairahkan itu takkan pernah kembali. Namun, sebuah utopia yang memikat muncul di benak saya dan menjelma menjadi cita-cita yang bisa menemukan kebenarannya dengan digelarnya pengadilan rakyat internasional, IPT1965, di negara dengan daratan yang tak seberapa. Negara yang pernah menjajah Indonesia, namun justru dari salah seorang residennya yang bernama Multatuli, kami sadar apa itu penjajahan.

Semoga keputusan hakim dalam persidangan nanti menemukan kebenaran bagi ratusan ribu korban kejahatan kemanusiaan, dengan membukakan jendela kesempatan bagi suara yang berpihak pada korban. Karena hukum, sejatinya ditulis dengan kodrat untuk berpihak pada korban, sehingga gaung ketidakadilan yang mereka suarakan pada akhirnya memang tak terbungkamkan. Dan kekuasaan yang buta dan tuli akan menerima hukuman dan siksa moral dari masyarakat internasional. Sementara sejarah yang dibikin gelap akan menemukan secercah terang untuk menguak kegelapan yang sudah menahun.

*Sastrawan, hidup di Jakarta

This post is also available in: English