wiranto2

Source : Indeksberita.com 1 Oktober 2016

Pemerintah membentuk tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Komnas HAM, TNI, Kepolisian Indonesia, pakar hukum, dan perwakilan masyarakat untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu terkait Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Pemerintah juga telah menetapkan sikap tentang hal ini, sebagaimana dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan, Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Timur, Sabtu.

Hadir dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila 2016, Wiranto menegaskan sikap pemerintah itu ditetapkan sesudah menggelar diskusi yang panjang dan pembahasan dari berbagai pendekatan.

Wiranto mengatakan, pemerintah selanjutnya mengambil tiga sikap tentang ini.

Pertama, bahwa pada 1965 dan tahun sebelumnya telah terjadi perbedaan secara ideologi politis yang berujung pada makar, sehingga menimbulkan kemunduran dan kerugian besar bagi bangsa Indonesia.

“Kedua, pemerintah merasa prihatin atas jatuhnya korban dalam peristiwa 1965 dan secara bersungguh-sungguh berusaha menyelesaikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut melalui proses non yudisial yang seadil-adilnya agar tidak menimbulkan ekses yang berkepanjangan,” katanya.

Selanjutnya ketiga, pemerintah mengajak dan memimpin seluruh bangsa Indonesia dengan mengedepankan ideologi Pancasila untuk bersama-sama merajut kerukunan bangsa agar peristiwa tersebut terulang lagi pada masa kini dan masa yang akan datang.

Adapun pendekatan yang ditempuh pemerintah, kata dia, termasuk mendengarkan aspirasi masyarakat terkait dugaan pelanggaran berat masa lalu dalam peristiwa G30S

“Dari pendekatan yudisial telah dilakukan pendalaman tentang peristiwa itu. Dari kajian hukum pidana peristiwa itu termasuk dalam katagori the principles clear and present danger. Negara dapat dinyatakan dalam keadaan bahaya dan nyata, maka tindakan yang terkait keamanan nasional merupakan tindakan penyelamatan,” katanya.

Ia menambahkan, dari peristiwa itu juga dapat berlaku adigium abnormaal recht voor abnormaale tijden, tindakan darurat untuk kondisi darurat (abnormal) yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang.

Selanjutnya, kata dia, melalui konsultasi dan koordinasi (bedah kasus) antara penyelidik Komnas HAM dan penyidik Kejaksaan Agung ternyata menemui hambatan yuridis, terutama yang menyangkut memenuhan alat bukti yang cukup (beyond reasonable doubt).

“Terdapat kesulitan untuk terpenuhinya standar pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” katanya.

Dengan demikian, menurut Wiranto, untuk menyelesaikan itu diarahkan melalui cara-cara nonyudisial dan mempertimbangan kepentingan nasional dan semangat kebangsaan yang membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan.

Maka penyelesaian dengan cara non yudisial dilakukan dengan mempertimbangkan frasa sebagai berikut, yakni tidak ada nuansa salah-menyalahkan, tidak lagi menyulut kebencian atau dendam, dan sikap/keputusan Pemerintah dibenarkan oleh hukum dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan.

Hal selanjutnya yakni tergambar kesungguhan pemerintah menyelesaikan tragedi itu secara sungguh-sungguh dan ajakan pemerintah untuk menjadikan peristiwa itu sebagai pembelajaran bagi bangsa Indonesia agar pada masa kini dan masa depan peristiwa semacam itu tidak terulang lagi.

This post is also available in: English