Catatan Refleksi Reza Muharam
I
Mereka yang hadir di acara solidaritas ‘Asik Asik Aksi: Darurat Demokrasi’ – di gedung LBH Jakarta, Minggu 17/09/17 – akan mengenang satu momen dimana Ananda Badudu (eks grup Banda Neira) dengan teguh menyanyikan lagu ini hingga nada terakhir.
Dan itu terjadi di saat segerombolan massa beringas yang digerakkan oleh hoax 1965 datang menyerbu dan dengan massal menyuarakan seruan kebencian dan semangat pembinasaan:
“Ganyang! Bunuh PKI!! Bakar PKI!!”.
Tak ada PKI di gedung itu. Betapa saat itu, terasa waktu diputar balik jauh ke belakang, ke suatu masa kelam dimana persekusi dan pembantaian kaum kiri dan semua yang di’pki’kan oleh Soeharto&Co dihalalkan dan menjadi hal yang sangat biasa.
Seperti di zaman itu juga pihak kepolisian, sebagai aparat keamanan negara dan penegak hukum, hanya berpangku tangan. Pihak kepolisian telah mentolerir adanya mobilisasi massa di malam hari, yang itu jelas melanggar hukum. Pihak kepolisian juga telah membiarkan massa yang beringas itu mendekat, mengepung dan memblokade gedung YLBHI.
Alhasil menjadikan semua yang hadir di acara #AsikAsikAksi menjadi target perburuan, kemana semua fitnah dan ribuan caci-maki dimuntahkan mulut-mulut kotor dari luar pagar.
Sesungguhnya, tidak ada alasan sedikitpun bagi pihak kepolisian untuk membiarkan massa beringas yang terorganisir tersebut merapat hingga ke pagar gedung LBH.
Acara kesenian sudah selesai sejak jam 21.30 tapi karena blokade tersebut, semua yang hadir akhirnya tidak dapat pulang ke rumah. Terperangkap di dalam gedung LBH seperti hewan-hewan buruan.
Kami merasa dipaksa menjadi figuran dalam sebuah drama sinetron amok massa anti PKI yang direkayasa oleh para pecundang. Dan klimaks nya adalah ketika setelah berjam- jam dijadikan bulan-bulanan massa yang beringas, pihak kepolisian, yang sebelumnya membiarkan terror tersebut terjadi, lalu tampil sebagai juru penyelamat yang mengevakuasi warga dan mengosongkan gedung LBH.
Dan ya tentu kita semua berterimakasih. Kita bersyukur bahwa pihak kepolisian pada akhirnya telah sadar akan tugasnya sebagai penegak hukum yang wajib menjaga keselamatan warga. Untuk itulah mereka digaji oleh rakyat.
Malam itu, hampir dua dasawarsa setelah lengsernya diktator Soeharto, terasa peradaban dan kebiadaban negeri ini kembali hadir berhadap-hadapan.
Hampir dua dasawarsa Reformasi, yang tersisa malam itu hanyalah tajam bau bangkainya. Karena ia memang sudah lama mati.
Biarpun susah bagi kita untuk mengakuinya. Proses renovasi budaya politik autoritarian Orde Baru kini dengan terang benderang tengah berlangsung didepan mata.
II
Dari sisi lainnya, Panglima TNI seperti diketahui telah menginstruksikan semua prajuritnya untuk menjadi panitia nobar film fitnah bin horror “Pengkhianatan G30S/ PKI”. Agar generasi muda tidak lupa sejarah, katanya. Maksudnya tentu agar tentara bisa mengontrol pikiran kita tentang peristiwa 1965.
Dalam surat instruksi yang sama panglima juga memerintahkan seluruh jajarannya agar mengawasi dan mewaspadai para warga yang ingin menonton film Jagal dan Senyap. Terutama semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya Pengungkapkan Kebenaran 1965.
Apakah sang panglima berfikir bahwa terror dan propaganda kembali diperlukan untuk mengontrol kemerdekan kita dalam berfikir, berkeyakinan dan berpendapat?
Waktu seakan dipaksa diputar mundur. Indoktrinasi melalui film wajib dianggap sebagai penawar bagi virus kesangsian terhadap monoversi Orde Baru tentang sejarah peristiwa 1965.
Dan ironisnya semua itu terjadi di era pemerintahan Jokowi, kepada siapa 99% yang hadir di gedung LBH malam itu sempat menggantungkan harapan-harapan terbaiknya.
Aku bersyukur, di momen yang bersejarah itu telah berada di dalam lingkaran para pembela konstitusi negeri ini. Aku bangga di momen itu telah berada di tengah wilayah yang merdeka. LBH bagiku bukanlah sembarang tempat, ia adalah ikon perjuangan dan benteng pertahanan hak-hak sipil di negri ini.
Aku bangga telah menjadi bagian dari para pembela peradaban. Yang tetap teguh menjaga agar cahaya pelita tetap bersinar. Di tengah membahananya siar kebencian dan terror yang ditebar oleh para pecundang. Terror yang merasuk hingga ke ruang-ruang gelap, dimana para ibu-ibu dan adik-adik yang tadi riang bernyanyi kini berdekapan dalam ketakutan.
III
Mereka memang telah berhasil menebar terror. Masalahnya mereka lupa bahwa Indonesia yang sama-sama kita cintai ini adalah negara hukum, dan bukan negara kekuasaan. Apalagi negaranya kaum preman dan kaum pecundang.
Aku ulangi pertanyaan yang kuajukan ditengah membahananya stigma dan terror yang ditebar oleh para pecundang:
Siapa dibalik aksi penyebaran #Hoax1965?
Siapa provokator, organisator dan cukong dibalik serangan barbarik terhadap LBH?
Kenapa pihak kepolisian masih membiarkan mereka bebas berkeliaran, seakan fitnah dan terror adalah hal yang lumrah disuatu negara hukum?
Apakah hukum pun kini akan dibiarkan membeku dihadapan Hoax1965?
Kejadian itu hanya mempertegas keyakinan bahwa #Hoax1965 harus segera dihentikan. Karena fitnah tersebut nyata-nyata dapat membunuhmu.
Namun aku pun sadar, tanpa adanya Pengungkapan Kebenaran 1965 oleh pihak penyelenggara negara, stigma dan terror 1965 aku rasa akan tetap ada. Terus dipelihara dan didaur ulang oleh para pecundang dan sisa-sisa Orde Baru.
Fitnah ini jika dibiarkan akan menjadi bola liar yang dapat menghantam siapa saja. Seakan mereka berkata:
‘Jangan panik! Semua akan di PKI kan pada waktunya.’
#LBHRumahKita #StopHoax1965
This post is also available in: English