Selasa, 31 Januari 2017 | 06:06 WIB

JAKARTA – Sosok Yap Thiam Hien punya kesan tersendiri di mata pengacara senior Todung Mulya Lubis. Sebagai seorang advokat, Yap tidak segan-segan untuk menerima masyarakat miskin sebagai kliennya.

Menurut Todung, Yap seringkali menjalankan profesinya sebagai penasehat hukum tanpa bayaran sedikit pun.

“Pak Yap banyak melakukan pekerjaan pro bono,” ujar Todung saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (24/1/2017).

“Dia membantu LBH menangani kasus-kasus tahanan politik dan itu semua tanpa bayaran. Saya beruntung pernah bekerja bersama Pak Yap dalam beberapa kasus,” kata dia.

Bagi Todung, Yap Thiam Hien merupakan sosok advokat yang berpihak pada masyarakat miskin. Yap juga dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia.

Dia pernah membela pedagang di Pasar Senen, yang tempat usahanya digusur oleh pemilik gedung.

Sebagai salah satu pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yap berani membangkitkan semangat “wong cilik” yang tertindas dan tergusur untuk menentang kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan asas keadilan.

 

Bukan tipe “advokat Ferrari”

Sisi lain yang menarik dari Yap adalah soal kesederhanannya. Menurut Todung, Yap selalu melihat segala sesuatunya dari aspek fungsional.

Saat ini, kata Todung, sulit sekali untuk menemukan sosok advokat seperti Yap Thiam Hien. Yap tidak pernah melihat siapa klien yang dibelanya, tapi apa kasus yang akan dikerjakannya.

Hampir semua perkara yang ditanganinya sarat dengan isu hak asasi manusia. Dia tidak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya ditahan dan dipenjara.

Seringkali dia membela klien yang sebelumnya ditolak advokat lain karena miskin atau memiliki pandangan ideologi yang berbeda.

“Pak Yap mencerminkan advokat berintegritas yang tidak gila uang, 100 persen advokat. Beliau bukan tipe advokat yang gemar naik Ferrari atau Lamborghini. Dia juga tidak naik Mercedez,” ucapnya.

Semasa hidupnya, Yap termasuk orang yang gigih menentang segala bentuk praktik diskriminasi dan ketidakadilan.

Yap tercatat pernah menjadi pembela Subandrio, mantan wakil perdana menteri di era Presiden Soekarno yang ditangkap karena tuduhan terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Dia juga pernah menjadi penasehat hukum AM Fatwa, tokoh muslim yang dituduh terlibat demonstrasi massa di Tanjung Priok tahun 1984. Peristiwa tersebut berakhir dengan tragedi kejahatan berat hak asasi manusia.

 

Anti-diskriminasi

Selain itu, Yap juga menjadi salah seorang yang tidak setuju isi dari Pasal 6 UUD 1945, bahkan sebelum dilakukan amandemen pada era reformasi.

Pasal tersebut cenderung mendiskriminasi karena menyebut Presiden RI adalah orang Indonesia asli.

Setelah amandemen, pasal tersebut kemudian diubah menjadi: “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.”

Menurut Todung, sikap Yap tersebut bukan semata-mata karena Yap seorang Tionghoa. Namun, Yap percaya pada rule of law, keadilan, dan hak asasi manusia tidak boleh bias SARA.

“Saya yakin jika beliau masih hidup, beliau akan membela hak kelompok minoritas yang lain seperti Ahmadiyah, Syiah dan lain sebagainya,” kata Todung.

Seorang tokoh agama Katolik, RD Benny Susetyo menyebut Yap Thiam Hien sebagai pengabdi hukum sejati karena telah mengabdikan hidupnya demi penegakan keadilan dan HAM.

Dalam tulisan berjudul “Spirit dan Keteladanan Yap Thiam Hien”, Benny melihat sosok Yap menjadi teladan bagi banyak advokat.

Sebagai seorang advokat, Yap berani mengambil pilihan untuk membela orang-orang miskin.

“Hal itu benar-benar dia lakukan dengan memberikan pelayanan hukum gratis bagi orang-orang miskin,” tulis Benny.

Menurut Benny, saat ini sulit untuk menemukan sosok advokat seperti Yap. Yap membangun kultur “budaya perlawanan” terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai kebenaran.

Hal tersebut yang menjadi dasar bagi Yap untuk selalu membela tanpa melihat perbedaan suku, agama dan ras.

Yap Thiam Hien lahir di Kutaraja, Banda Aceh pada 25 Mei 1913. Ia meninggal dunia pada 25 April 1989 di Brussel, Belgia dalam suatu perjalanan tugas menghadiri Konferensi Internasional Lembaga Donor untuk Indonesia.

Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai advokat yang memperjuangkan prinsip-prinsip hukum berkeadilan dan HAM.

Namanya telah diabadikan sebagai penghargaan bagi para aktivis yang mengabdikan hidupnya untuk masyarakat kecil, kaum tertindas dan penegakan HAM.

Sumber: Kompas.Com

This post is also available in: English